Minggu, 16 November 2008

Konservasi Energi Pada Bangunan Gedung

Bagi negara yang tercatat dalam Protokol Kyoto, konservasi energi, yang berarti suatu permintaan untuk mengurangi pemakaian energi, menjadi keharusan yang mesti dipenuhi.

Usaha konservasi energi tidak hanya diterapkan pada sistem desain baru tetapi juga pada sistem lama dengan catatan selama sistem tersebut memenuhi kondisi penghematan energi atau konsumsi energi minimum yang dapat memuaskan kebutuhan pemakai dan negara. Masyarakat Indonesia tergolong konsumen yang sangat boros dalam penggunaan energi listrik jika dibandingkan dengan negara lain. Akibatnya, pemakaian listrik meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun, tidak sesuai dengan pertumbuhan penggunaan energi listrik.

Melihat perkembangan dan fakta di lapangan pada 2003 dan tahun-tahun berikutnya, kondisi 2006 akan semakin parah. Kekhawatiran itu muncul karena hanya terdapat beberapa tambahan pasokan listrik saja, sedangkan permintaan pemakai energi listrik akan terus meningkat.

Sementara itu, cadangan minyak bumi Indonesia pada 2002 kurang lebih sebesar 9 miliar barel dengan kuota ekspor 1,5 juta barel/ hari dan kebutuhan Indonesia mencapai 1 juta barel/ hari. Kondisi tersebut diperkirakan pada 2010 kuota ekspornya tetap, tapi kebutuhan domestik meningkat menjadi 1,8 juta barel/ hari. Asumsi ini sekaligue menunjukkan kemungkinan bahwa cadangan minyak Indonesia akan habis pada tahun 2020. Padahal minyak bumi merupakan salah satu bahan baku utama pasokan energi listrik.

Salah satu serapan energi listrik yang besar terdapat pada bangunan gedung bertingkat. Di Indonesia, berdasarkan standar pada comercial building, kebutuhan energi setiap tahunnya adalah 246 kWh/ m2. Belum ada gedung di Indonesia yang menggunakan energi di bawah angka itu. Pada 1998, menurut survai yang dilakukan IAFBI (Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia), rata-rata gedung di Jakarta menghabiskan 310 kWh/ m2 setiap tahunnya. Sebagai gambaran betapa borosnya pemakaian energi listrik di Indonesia, pada tahun yang sama Singapura hanya menggunakan 210 kWh/ m2 per tahunnya.

Upaya mengatasi krisis energi

Meskipun energi terbarukan melimpah di Indonesia, seperti energi surya, angin, mikrohidro, geotermal, dan biomasa, namun masih sangat minim pemakaiannya, diperkirakan 10 tahun mendatang hanya 10 sampai 20 persen pasokan energi listrik berasal dari energi terbarukan tersebut. Dan kondisi saat ini pemanfaatan energi terbarukan itu hanya satu persen saja.

Ada beberapa upaya yang telah dilakukan di Indonesia untuk mengatasi krisis energi. Pemakaian lampu hemat energi atas kerja sama PT GE Lighting Indonesia dan PLN, yang dapat menghemat pemakaian energi listrik sebesar 80% dan perencanaan gedung hemat energi “Graha Pangeran” di Surabaya oleh Jimmy Priatma. Penghematan energi yang dicapai dari hasil rancangan pada gedung yang disebut terakhir sebesar 65 %.

Kunci penghematan energi pada gedung-gedung tinggi adalah dengan penggunaan listrik untuk AC dan penerangan dapat ditekan serendah mungkin, karena penggunaaan energi di gedung bisa mencapai 90% untuk AC dan penerangan. Sebagai contoh pada wilayah DKI Jakarta, jumlah gedung berdasarkan data tahun 2000 sebanyak 960.000 gedung, dan 1000 gedung di ataranya adalah gedung berlantai lima ke atas. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh IAFBI, dari 500 gedung berlantai delapan yang menjadi obyek penelitian, baru 10% atau 50 gedung di Jakarta yang menggunakan energi mendekati angka standar.

Penghematan pada sistem pendingin (AC)

Jika pada tiap gedung bertingkat menggunakan sistem pendingin, pemakaian energi terbanyaknya pada kompresor, yakni sebesar 90% dari total pemakaian energi listrik untuk sistem pendingin. Upaya untuk penghematan energi pada sistem pendingin dapat dilakukan dengan beberapa cara. Antara lain efisiensi kompresor, membuat variasi putaran kompresor, mencari refrigeran alternatif, membuat variasi putaran fan, sistem kontrol refrigeran, dan lain-lain.

Untuk mengatasi krisis energi di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan oleh Henry Nasution PhD dari Universitas Bung Hatta Padang dan Prof Mat Nawi Wan Hassan dari Universitas Teknologi Malaysia, terdapat beberapa cara. Dapat berupa pemanfaatan teknologi inverter dengan membuat variasi pada putaran motor kompresor. Sehingga pada tujuan tertentu, pemakaian sistem pendingin disesuaikan dengan keadaan dan aktifitasnya. Teknologi ini tidak menyulitkan dalam hal pemasangan dan tersedia di pasaran Indonesia.

Atau upaya kedua, dengan menggunakan sistem pengaturan. Walaupun menambah biaya awal untuk investasi, pada sistem ini tidak lagi memerlukan operator, karena pada sistem tersebut telah terintegrasi dan terkoneksi. Ini akan lebih baik dan jauh lebih hemat pemakaian energi listriknya jika dibandingkan dengan sistem konvensional.

Sistem pendingin ruangan dengan menggunakan sistem pengaturan ini akan bekerja sesuai dengan banyaknya aktifitas yang berada di dalam ruangan. Perubahan motor kompresor juga sebanding dengan perubahan aktifitas, karena itu dipengaruhi oleh temperatur ruang tersebut.

Keterkaitan Keberadaan Bangunan Air terhadap Karakteristik Lingkungan DAS Ciliwung Masa Kolonial

Berdasarkan informasi yang didapatkan tersebut awal pembangunan untuk bangunan air yang dibuat dan digunakan pada masa kolonial pengelolaan air yang dilakukan pada Bagian DAS hulu dan bagian hulu tersebut masih dipandang sebagai satu kesatuan Aliran sungai. Kemudian Belanda membangun bangunan air di bagian hilir dan bagian tengah. Adapun keseluruhan bangunan mengacu pada keberadaan sungai utama belum mengantisipasi pengaruhpengaruh dari subsub DAS yang ada di bagian DAS hulu maupun bagian DAS tengah. Belanda membangun belum memperhatikan bahwa aliran Ciliwung memiliki karakteristik fisik antara bagian timur aliran utama dan bagian barat aliran utama dimana fakta menunjukkan besar volume aliran Ciliwung tidak seimbang antara bagian timur dan dagian barat aliran sungai utama, Lebih besar bagian timur dibandingkan bagian barat.

Sifat air berasal dari tempat yang lebih tinggi. Sifat ini seharusnya dapat sebagai dasar dalm pengelolaan DAS Ciliwung. Aliran sungai bagian hulu berpola aliran dendritik dapat menunjukkan bahwa limpahan curah hujan yang sangat tinggi yang dapat membentuk pola aliran tersebut. Di bagian hululah seharusnya mendapat perlakuan yang lebih. Tetapi Belanda memfokuskan pembangunan bangunan air sebagian besar untuk pengelolaan air yang memang sudah melimpah di hilir.

Bagian DAS Tengah menunjukkan bentuk aliran yang berkelok dan makin ke hilir kelokannya makin tajam atau meander yang makin lebar. Informasi tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk dasar pengelolaan bagian DAS tengah maupun hilir. Meander yang ada menunjukkan perubahanperubahan sudut ketajamannya dengan mengerosi secara horizontal selain mengendapkan material hasil erosi di bagian dalam meander. Makin tajamnya kelokan meander di bagian hilir dalam keseimbangan pembentukan meander selalu diikuti bagian sungai sebagai lokasi pengendapan.

Hal ini berlaku pada setiap meander. Jika disisi luar meander tererosi secara lateral diikuti bagian dalam menader sebagai lokasi pengendapan. Terganggunya satu sisi dalam meander akan mengganggu keseimbangan daya serap yang di bagian pengendapan pada sebuah meander.Kondisi yang terjadi perkembangan penggunaan lahan di bagian hilir mengindikasikan mengganggu bagian ini ?masyarakat mendirikan bangunan di lahan tersebut.

Wilayah-wilayah pengendapan inilah memiliki potensi menyerap air sangat tinggi. Pengidentifikasian wilayah pengendapan meandermeander yang ada di bagian tengah dan hilir jika direkonstruksi alirannya dapat memberikan peluang lebih besarnya air sungai yang terserap sebagai air tanah. Adapun yang terjadi bahwa pergerakan meander sungai Ciliwung pada bagian sisi wilayah pengendapan dibebani dengan bangunanbangunan berat sehingga sifat tanah endapan yang porositasnya tinggi menjadi padat dan kurang menyerap air. Jika hal ini diabaikan maka keseluruhan aliran sungai Ciliwung akan menjadi aliran permukaan atau tidak terjadinya proses peresapan air sungai untuk mengisi air tanah.

Hal ini merupakan adaptasi yang tidak memperhatikan karakteristik fisik daerah aliran sungai. Dengan demikian upaya yang dilakukan pada masa kolonial dengan memilih lokasi pembangunan bangunan air tidak disertai dengan tindakan penanggulangan berdasarkan sistim yang berlaku dalam mencapai keseimbangan. Memang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan dapat menimbulkan dampak keseimbangan baru dan keseimbangan baru secara alamiah inilah kadang diterima oleh pelaku budaya kadang tidak diterima oleh pelaku budaya atau dianggap bencana, meskipun sebenarnya dengan kacamata sistemik pelaku budayapun mencapai keseimbangannya sendiri terhadap lingkungannya.

Apalagi terbukti penggunaan lahan di bagian hulu mendapat gangguan atas terbukanya lahanlahan perkebunan yang setiap tahunnya makin meluas dan makin meningkat setelah diberlakukannya peraturan hak sewa tanah oleh swasta yang ditandai dengan masuknya modal asing dalam usaha perkebunan. Dengan demikian beban yang ditanggung bagian hilir DAS Ciliwung makin berat terbukti dengan meningkatnya ratarata debit air tahunan. Dan hal tersebut secara sistematis peningkatan erosi di bagian hulu. Hasil erosi berupa endapan terbawa di bagian DAS tengah hingga bagian DAS hilir. Endapan yang terakumulasi di bagian hilir akan mengurangi daya tampung badan sungai alami. Sehingga limpahan air yang datang dari hulu dan tengah DAS keluar dari sistem aliran semula. Dan bagian hilir yang merupakan dataran aluvial yang sudah jenuh air maka terjadilah banjir di beberapa tempat di bagian hilir.

Dataran di bagian hilir DAS Ciliwung merupakan kota yang terus berkembang, terjadi perubahanperubahan pemanfaatan lahan yang awalnya lahan tersebut sebagai tujuan akhir air mengalir yaitu rawarawa. Setelah terjadi perubahan pemanfaatan maka air yang melimpah dari sungai Ciliwung hilir makin sempit sehingga yang terjadi banjir makin tinggi.

Bukti-bukti arkeologis keberadaaan bangunan air pada masa kolonial menunjukkan proses adaptasi atas dasar budaya tindakan penanggulangan bukan atas dasar budaya tindakan pencegahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaku budaya secara sistemik tidak selaras dan seiring dengan keseimbangankeseimbangan baru secara alami di DAS Ciliwung. Untuk di masa mendatang bagian DAS Ciliwung bagian hilir selalu menghadapi masalah dengan aliran sungai Ciliwung yang semakin lama semakin jauh dari keseimbangan lingkungannya.

Perlu diketahui bahwa penelitian ini terfokus pada kawasan tangkapan air Ciliwung. Di wilayah hilir DAS Ciliwung yang relatif datar sebagai satu sistem dataran yang luas dari timur ke barat sebagai wilayah pesisir utara teluk Jakarta. Sehingga Perubahan yang terjadi di DAS Ciliwung tidak sepenuhnya hanya diterima oleh bagian hilir Ciliwung, begitu juga sebaliknya bahwa bagian hilir Ciliwung tidak hanya menerima dari DAS Ciliwung saja, tetapi bisa juga dari luar Ciliwung dimana ada 13 sistem sungai yang sampai di wilayah datar tersebut.

Pengelolaan DAS Ciliwung akan efektif jika dilakukan atas dasar budaya pengelolaan pencegahan. Tindakan pencegahan dapat dilakukan pada setiap bagian DAS baik hulu, tengah maupun hilir dengan memperhatikan karakteristik alaminya baik faktorfaktor indogin yang mengalasinya, faktor -faktor permukaan dan faktorfaktor eksogen yang bekerja atas DAS Ciliwung. Perubahan penggunaan lahan perkotaan yang cepat merupakan indikator mulainya pengelolaan budaya pencegahanpencegahan sebagai representasi adaptasi dengan lingkungan dalam menghadapi sistem alami DAS yang melalui kota tersebut agar mendekati keseimbangan sistem alaminya.

Peneliti menyadari sudut pandang arkeologis pada penelitian ini sangat dangkal yaitu belum mengungkap detail dari bangunan air sebagai obyek arkeologis dengan menggunakan analisis bentuk, gaya, teknologis. Secara teknis penelitian ini akan lebih maksimal jika penggunaan alat Sistem Informasi Geografis (SIG) sampai tahap pemodelan aplikasi arkeologis keruangan. Peneliti hanya memanfaatkan alat SIG sebagai tahap pemasukan data dijital keruangan, melakukan manipulasi matematis sederhana serta proses kartografis dari datadata keruangan.

Hasil penelitian ini semoga dapat dikembangkan oleh peneliti yang akan datang, baik di DAS Ciliwung maupun DAS DAS lain sebagai penelitian yang lebih tajam yang semakin dapat menjawab relevansi kebutuhan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.